Posted by: ninayuliana | May 15, 2011

waktu

sepulang dari sebuah upacara kematian

kau dapati jam di dinding kamarmu

: berhenti berdetak

Posted by: ninayuliana | July 5, 2010

Foto Keluarga

di dinding ruang tengah
rumahku
sebuah foto dengan bingkai kayu
tergantung berdebu

foto penuh senyum
ayah, ibu
adik dan kakakku
: tak ada aku
di situ

Posted by: ninayuliana | May 10, 2010

ingin seperti ibu guru

koran-koran, televisi, twitter bahkan facebook penuh dengan sri mulyani
katanya bank dunia akan menjadi tempat berlabuh berikutnya
dengan segala kapabilitas dan kredibilitas, ke sana ia, membawa nama bangsa

di kampungku, sri mulyani jualan jamu
beras kencur, kunyit asem, pahitan untuk kulit gatal,
jamu kuat ada juga, pastinya

anaknya lima, bedanya setahun-setahun
untungnya dari lelaki yang sama

si sulung kelas dua
SD negeri kecil dekat rumahnya

suatu hari, gurunya bertanya,
“apakah kalian ingin menjadi seperti sri mulyani?”
“mengharumkan nama bangsa.”
“mengangkat martabat wanita.”

hampir semua teman sekelas mengangkat tangan
si sulung bingung
mengapa tukang jamu bisa mengharumkan nama bangsa
sedang membantu PR matematika saja ibunya tak bisa

dengan lantang ia berkata,
“saya sayang mbok saya, tapi berjualan jamu bukan cita-cita”
“saya ingin seperti ibu guru saja”
“mengajarkan kami membaca, mengenalkan kami dunia”

terhenyak, ibu guru menatapnya
bola matanya berkaca

Posted by: ninayuliana | June 19, 2009

biar sama

HAH!! ini luka masih kukorek juga
beranak pinak dalam darah
setahun, dua, sewindu
kitari raga yang sama

HAH!! ini luka terus kukata juga
pada buku-buku terbaring
di almari pojok kamar
dengan judul sama

tajam itu kutikam juga: harusnya
biar sama
luka kita

Posted by: ninayuliana | June 15, 2009

memesan

di restoran itu
tuhan menghampiri mejaku
dan bertanya,
“mau pesan apa?”

kutatap ia dalam-dalam
dan berkata,
“hidupku.”

Posted by: ninayuliana | June 15, 2009

yang terlupa

dan karung kemarahan ini
kami sampirkan di pundak
di dalamnya sebongkah matahari
yang kami curi semalam
dari sebuah istana di negeri sana

mereka tak pernah tahu
sebongkah matahari yang hilang
karena mereka punya seribu

kami pinjam sebongkah itu
biar terang dada kami
menyusuri becek jalan hitam ini

suatu hari, tentu kami kembali
mengantar sebongkah itu
: pada ujung nafas kami

(terinspirasi dari puisi Teddy Delano: http://www.facebook.com/note.php?note_id=104933778614&ref=nf)

Posted by: ninayuliana | June 15, 2009

malam di kedai fast food

: hudan

sedang coca cola belum habis kau tenggak
ceceran tawa bocah, kentang goreng yang tergelak

ceracau tentang puisi, setan dan tuhan
“puisi datang dari hati”, tutupmu
sebelum kau tinggalkan meja
penuh huruf terserak

: takzim hurufmu kubasuh
satu -satu

Posted by: ninayuliana | May 20, 2009

cerita lama

bulat bulan menunjuk tujuh
sepi menjalar di kokoh gedung kantor itu
bergegas kemasi kertas di meja
tak lupa kau matikan monitor yang tadi menyala

istrimu membuka lemari pendingin
yang kau beli beberapa tahun lalu
sayur-sayuran, potongan daging, sejumlah bumbu
cukup untuk membuat sop kesukaanmu

laju motor kau pacu bagai orang dikejar hantu
tak ingin telat tiba di tempat
itu pikiranmu

di dapur dua kali tiga meter
istrimu bernyanyi kecil
diantara kepulan asap
wangi sop yang mendidih

segera motor kau sandarkan
senyum lebar terurai di wajah itu
saat sosokmu tertangkap olehnya
yang menanti sejak satu jam yang lalu

bulat bulan mengitar sepuluh
getar telepon genggam di sakumu
‘ayah di mana? sopnya sudah dingin, mau dihangatkan?’
pesan pendek kau baca tergesa

lincah jemari kananmu menekan huruf-huruf
‘aku masih di kantor, banyak pekerjaan, tak usah kau tunggu.’
di lengan kirimu, menggelayut manja perempuan manis itu

di tangannya, sebuah tas belanja
sepotong gaun merah menyala
dan kalung berwarna senada

“terima kasih, kau tahu saja
apa yang kusuka”, ucapnya
sambil mengecupmu
di depan pagar rumahnya

di atas dipan tua, di ruang tamu
istrimu terlelap
lelah menantimu

Posted by: ninayuliana | May 16, 2009

mataku

mataku: sepasang mata yang sepi
darinya menetes gurun-gurun
dingin dan kering

mataku bercermin pada langit
menatap do’a
yang melompat-lompat lucu
di awan

mataku: sepasang mata yang sepi
mencari-cari Tuhan
pada kematian

Posted by: ninayuliana | May 12, 2009

perahu kosong

aku mengutuk tiap helai waktu
yang kau habiskan di pulau itu

angin:
menghembus rambut-rambut putih
di kepalamu
mengajak ragamu menari pantai
heeii hooo heeeii hoooo!

sedang senja seperti maling yang mengendap
mencuri hampir semua terang
sisakan sepercik untuk kita
meraba apa yang tersisa

dan ragamu mulai payah
ikuti angin yang tak juga goyah
hingga napasmu tersengal

dalam gelap, terduduk sendiri
kau sumpahi pagi
yang tak kunjung tiba

sementara di sana
ibuku termangu
menatap perahu kosong
yang dulu pernah dikenalnya

Older Posts »

Categories